PENDEKATAN SCIENTIFIC
Nama :
Friescha Azizatun Nisa
Dosen : Lestariningsih, S.Pd., M.Pd.
STKIP PGRI Sidoarjo
A.
Pengertian
Pendekatan Scientific
Pendekatan adalah konsep dasar
yang mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari pemikiran tentang bagaimana
metode pembelajaran diterapkan berdasarkan teori tertentu. Oleh karena itu
banyak pandangan yang menyatakan bahwa pendekatan sama artinya dengan metode.
Pendekatan ilmiah berarti konsep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi
perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah.
Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching ) merupakan bagian dari
pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam kelas yang melandasi
penerapan metode ilmiah.
Pengertian penerapan pendekatan
ilmiah dalam pembelajaran tidak hanya fokus pada bagaimana mengembangkan
kompetensi siswa dalam melakukan observasi atau eksperimen, namun bagaimana
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berpikir sehingga dapat mendukung
aktivitas kreatif dalam berinovasi atau berkarya.
Menurut majalah Forum Kebijakan
Ilmiah yang terbit di Amerika pada tahun 2004 sebagaimana dikutip Wikipedia
menyatakan bahwa pembelajaran ilmiah mencakup strategi pembelajaran siswa aktif
yang mengintegrasikan siswa dalam proses berpikir dan penggunaan metode yang
teruji secara ilmiah sehingga dapat membedakan kemampuan siswa yang bervariasi.
Penerapan metode ilmiah membantu guru mengindentifikasi perbedaan kemampuan
siswa. Pada penerbitan berikutnya pada tahun 2007 dinyatakan bahwa penerapan
pendekatan saintifik dalam pembelajaran harus memenuhi tiga prinsip utama,
yaitu :
1. Belajar siswa aktif, dalam hal
ini termasuk inquiry-based learning atau belajar berbasis penelitian,
cooperative learning atau belajar berkelompok, dan belajar berpusat pada siswa.
2. Assessment berarti pengukuran
kemajuan belajar siswa yang dibandingkan dengan target pencapaian tujuan belajar.
3. Keberagaman mengandung makna
bahwa dalam pendekatan ilmiah mengembangkan pendekatan keragaman. Pendekatan
ini membawa konsekuensi siswa unik, kelompok siswa unik, termasuk keunikan dari
kompetensi, materi, instruktur, pendekatan dan metode mengajar, serta konteks.
Metode Ilmiah merupakan teknik
merumuskan pertanyaan dan menjawabnya melalui kegiatan observasi dan melaksanakan
percobaan. Dalam penerapan metode ilmiah terdapat aktivitas yang dapat
diobservasi seperti mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan,
menyimpulkan, dan mencipta. Pelaksanaan metode ilmiah tersusun dalam tujuh
langkah berikut:
1.
Merumuskan
pertanyaan.
2.
Merumuskan
latar belakang penelitian.
3.
Merumuskan
hipotesis.
4.
Menguji
hipotesis melalui percobaan.
5.
Menganalisis
hasil penelitian dan merumuskan kesimpulan.
6.
Jika
hipotesis terbukti benar maka dapat dilanjutkan dengan laporan.
7.
Jika
Hipotesis terbukti tidak benar atau benar sebagian maka lakukan pengujian
kembali.
Penerapan metode ilmiah merupakan
proses berpikir logis berdasarkan fakta dan teori. Pertanyaan muncul dari
pengetahuan yang telah dikuasai. Karena itu kemampuan bertanya merupakan
kemampuan dasar dalam mengembangkan berpikir ilmiah. Informasi baru digali
untuk menjawab pertanyaan.Oleh karena itu, penguasaan teori dalam sebagai dasar
untuk menerapkan metode ilmiah. Dengan menguasi teori maka siswa dapat
menyederhanakan penjelasan tentang suatu gejala, memprediksi, memandu perumusan
kerangka pemikiran untuk memahami masalah. Bersamaan dengan itu, teori
menyediakan konsep yang relevan sehingga teori menjadi dasar dan mengarahkan
perumusan pertanyaan penelitian.
B.
Kriteria
Pendekatan Scientific (Pendekatan Ilmiah)
Berikut ini tujuh (7) kriteria
sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific,
yaitu:
1. Materi pembelajaran berbasis
pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran
tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon siswa,
dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta,
pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi
siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi,
memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi
siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan
satu sama lain dari materi pembelajaran.
5. Mendorong dan menginspirasi
siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional
dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori,
dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan
secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Proses pembelajaran yang
mengimplementasikan pendekatan scientific akan menyentuh tiga ranah, yaitu:
sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotor ). Dengan
proses pembelajaran yang demikian maka diharapkan hasil belajar melahirkan
peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan
sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
C.
Langkah-Langkah
Pembelajaran Scientific
Pembelajaran saintifik terdiri
atas lima langkah, yaitu Observing (mengamati), Questioning (menanya),
Associating (menalar), Experimenting
(mencoba), Networking
(membentuk Jejaring/ mengkomunikasikan).
1. MENGAMATI
Mengamati mengutamakan
kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning ). Mengamati memiliki
keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik
senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati
dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan
matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan
mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Mengamati sangat bermanfaat bagi
pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki
kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta
bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang
digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam
pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
·
Menentukan
objek apa yang akan diobservasi
·
Membuat
pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
·
Menentukan
secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
·
Menentukan
di mana tempat objek yang akan diobservasi
·
Menentukan
secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar
berjalan mudah dan lancer
·
Menentukan
cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku
catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran meniscayakan
keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus
memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
· Observasi biasa (common
observation ). Pada observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta
didik merupakan subjek yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer
). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku,
objek, atau situasi yang diamati.
· Observasi
terkendali (controlled observation ). Seperti halnya observasi biasa, pada
observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali
tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Mereka
juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendali
pelaku atau objek yang diamati ditempatkan pada ruang atau situasi yang
dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi terkendali termuat
nilai-nilai percobaan atau eksperimen atas diri pelaku atau objek yang
diobservasi.
·
Observasi partisipatif (participant observation ). Pada observasi partisipatif,
peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau objek yang
diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim dilakukan dalam
penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan
peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati.
Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini
berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat subjek atau
komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau
dialek setempat, termasuk melibatkan diri secara langsung dalam situasi
kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran,
peserta didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua
cara pelibatan dimaksud yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak
berstruktur, seperti dijelaskan berikut ini.
· Observasi berstruktur. Pada
observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek,
atau situasi apa yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan
oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru.
· Observasi tidak berstruktur.
Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak
ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh
peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau
mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang
diobservasi.
2. MENANYA
Guru yang efektif mampu
menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula
dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru
menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya
itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang
menginginkan tindakan nyara, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan
verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”,
melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan
tanggapan verbal.
Fungsi Bertanya: (1)Membangkitkan
rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau
topik pembelajaran; (2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif
belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri; (3)
Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan
untuk mencari solusinya; (4) Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan
pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan; (5) Membangkitkan
keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi
jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar;
(6) Mendorong partisipasipeserta didik dalam berdiskusi, berargumen,
mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan; (7) Membangun sikap
keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya
kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok; (8)
Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam
merespon persoalan yang tiba-tiba muncul; dan (9) Melatih kesantunan dalam
berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
Kriteria Pertanyaan yang Baik:
(1) Singkat dan jelas; (2) Menginspirasi jawaban; (3) Memiliki fokus; (4)
Bersifat probing atau divergen; (5) Bersifat validatif atau penguatan; (6)
Memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang; (7) Merangsang
peningkatan tuntutan kemampuan kognitif; (8) Merangsang proses interaksi.
3. MENALAR
Istilah “menalar” dalam kerangka
proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013
untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif
daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas
fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa
pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan
penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan
terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau
penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran
pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar
asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran
merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam
peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori.
Selama mentransfer
peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan
peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak
berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia.
Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi,
asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai
hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses
pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung
antara pendidik dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui
stimulus dan respons (S-R). Teori ini dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen
Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar
proses pembelajaran yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, yang juga
dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses
pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara
perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike
mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
· Hukum
efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan
respon (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari
hubungan yang terjadi. Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan,
maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat
hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan
melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh
lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek
punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini
bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment
belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
· Hukum latihan (The Law of
Exercise ). Awalnya, hukum ini terdiri dari duajenis, yang setelah tahun 1930
dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja
tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu
hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau
berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin
melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.Menurut Thorndike,
perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang,
latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu
menyadari konsekuensi perilakunya.
· Hukum kesiapan (The Law of
Readiness ). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan
menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan
belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika
peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas.
Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa
dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi.
Prinsip-prinsip dasar dari
Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau
pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran
dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam
probabilitas perilaku itu akan diulangi. Merujuk pada teori S-R, proses
pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan
begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R.
4. MENCOBA
Untuk memperoleh hasil belajar
yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan,
terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA,
misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk
mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode
ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya
sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau
mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu
sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk
ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar
menurut tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan
yang tersedia dan harus disediakan; (3)mempelajari dasar teoritis yang relevan
dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan;
(5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6)
menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan
mengkomunikasikan hasil percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat
berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga
akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang
dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan
kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah
yanga akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid
(7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru
mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu
didiskusikan secara klasikal.
5. JEJARING
Jejaring Pembelajaran disebut
juga Pembelajaran Kolaboratif. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran
kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih
dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi
esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan
dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik
dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif
kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar,
sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran
kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh
tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau
berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta
didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan
atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman,
sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar
secara bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau
pembelajaran kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara
guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari
penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas
atau pembelajaran kolaboratif.
· Guru
dan peserta didik saling berbagi informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif,
peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai dan membina ilmu pengetahuan,
pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai
dengan teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran.
Di sini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar
ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
· Berbagi tugas dan
kewenangan. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan
kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini
memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri, berbagi strategi
dan informasi, menghormati antarsesa, mendorong tumbuhnya ide-ide cerdas,
terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan
mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
· Guru
sebagai mediator. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan
sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi
baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka
mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki
kesungguhan untuk belajar.
· Kelompok peserta didik yang
heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan
berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat
menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi,serta
mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan
cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta
didik.